PPW Forum
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Semar, tokoh kreasi budayawan lokal

2 posters

Go down

Semar, tokoh kreasi budayawan lokal Empty Semar, tokoh kreasi budayawan lokal

Post  pranowobudi Mon Apr 04, 2011 3:50 pm

http://wayangprabu.com/2010/05/11/s-e-m-a-r-2/

PERAN SEMAR DALAM PERTUNJUKAN KULIT JAWA GAYA SURAKARTA

Randyo
Institut Seni Indonesia Surakarta

Harmonia Volume 9 No 2 2009

Abstract.

Semar is the mysterious puppet charaters and vague. Semar is present in all versions of leather puppet theater performances. Stories in puppet shows, Semar is present in two main roles, first as a supporter of the birth of the holder of the most important role in the play, namely the presence of seeds that will take a decisive position in the theater, preceded by his presence because, seond Semar become major stakeholders in play as an example: Kilat Buana, Semar Kuning, Semar Papa, Semar Mbarang Jantur. Semar represent sudra figures, also represent the people in general. In the play lebet containing about philosophy of life, the presence of Semar preceded by events because it is an extraordinary event. Gara-gara in the puppet shows are usually marked by a major event in the universe caused by a variety of puppet characters. It appeared to subside after Semar figure. As the atmosphere Conditioning, Semar comes with poise, dignity many illustrations that can be interpreted from him. Semar restore the harmony of the play that ended mulih play according to plan. Things returned to normal play Semar sometimes even appear as a fresh air carriers and the humorous seasoning with punakawan others, can be used to establish rapport with the audience. Semar is a symbol characters will be elected to the presence of a knight, who has a genuine spirit of struggle, and the birth of world harmony.

Kata Kunci: Semar, pertunjukan, wayang kulit jawa, gaya Surakarta.

PENDAHULUAN

Sebutan Semar dapat dijumpai dibeberapa wilayah untuk memberikan nama pada sesuatu obyek atau simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Di Surakarta, Semar digunakan untuk memberikan salah satu nama produk batik yang terkenal yaitu batik Semar. Di Wonogiri, nama Semar juga dikenal banyak masyarakat sbagai sebuah bukit yang bulat seperti bentuk wayang kulit Semar. Di Karanganyar, juga terdapat sebuah tempat untuk samadi yaitu patung Semar. Pemberian nama sebutan menggunakan nama Semar, terdapat kemungkinan bahwa yang memberikan nama menginginkan agar mendapat berkah/angsar dari tokoh Semar.

Nama Semar secara pasti sulit untuk dilacak oleh karena kurangnya tradisi tulis dalam masyarakat Jawa. Tradisi Jawa biasanya lebih tebal dalam budaya lisan yaitu ditransformasikan dari mulut-kemulut sehingga mudah berubah sesuai dengan daya penangkapan kesan penerima pesan. Kesimpangsiuran arti dan makna Semar tersebut, melahirkan banyak versi dan pendapat yang beragam, dalam konteks filosofis hal demikian tidak menghilangkan makna yang sebenarnya akan tetapi justru menambah khasanah yang lebih mendalam serta makna yang luas.

Di dalam pertunjukan wayang kulit purwa jawa, nama tokoh wayang Semar merupakan tokoh yang ada dan tetap hidup sepanjang jaman. Semar dalam pewayangan Jawa ada kemungkinannya mirip dan diangkat dari Semar pada beberapa karya sastra Jawa. Pada pertunjukan wayang kulit Jawa versi Arjuna sasra, tokoh Semar hadir mengikuti tokoh pemegang peran Sumantri yang oleh karena ketulusan pengabdiannya kepada Negara, kemudian menjadi mahapatih Suwanda di kerajaan Mahespati. Semar mengikuti Suwanda hingga akhir hayatnya.

Pada lakon versi Ramayana, tokoh Semar selalu mengikuti tokoh Senapati yang sakti mandraguna yaitu Hanuman putera Anjani. Hanuman mengabdi kepada Sri Ramawijaya hingga akhir hayatnya.

Pada lakon versi Mahabarata tokoh Semar mengabdi kepada keturunan Wirata yaitu Manumayasa. Setelah Manumayasa meninggal, Semar mengabdi kepada Pandudewanata raja Astina. Setelah Pandu meninggal, kemudian mengabdi kepada anak keturunannya yaitu Arjuna dan adakalanya mengikuti puteranya Angkawijaya atau Abimanyu hingga Parikenan.

Terdapat garis pengabdian Semar yang sama dari seluruh lakon yang ada yaitu, Semar selalu mengabdi pada ksatria yang selalu ingin menegakkan keadilan, penuh pengabdian, dan penjaga keharmonisan dunia. Tokoh Semar ternyata dapat muncul diberbagai versi wayang dan merupakan tokoh misterius. Dari berbagai versi lakon wayang, tokoh Semar lebih lengkap dan memiliki makna yang mendalam dalam Mahabarata, akan tetapi dalam sumber cerita Mahabarata yang berasal dari karya satera besar India sebenarnya tokoh semar tidak dapat diperoleh, sehingga menimbulkan penafsiran bahwa tokoh Semar berasal dari kebudayaan Jawa.

ASAL MULA SEMAR DAN WONDO WAYANG

Asal Mula Semar dalam Pertunjukkan Wayang Kulit Purwa Jawa

Tokoh wayang Semar sekalipun samara juga memiliki asal mula kelahirannya. Kelahiran tokoh Semar da-lam karya sastera berbeda dengan asal mula Semar dalam pertunjukan wayang. Demikian pula asal mula Semar dalam wayang versi lakon Arjunasasra, Ramayana berbeda dengan asal mula dalam wayang versi Mahabarata.

Didalam pertunjukan wayang kulit purwa Suran, untuk keperluan ritual menghormati dahyang Mayak tahun 2003, berlangsung di pasar Ngemplak Surakarta, dengan lakon Turunnya Wahyu Trimadya Daya disajikan oleh Ki Joko Santosa dari Debegan Mojo-songo. Terjadi dialog antar tokoh Hanu-man dengan Semar. Hanuman memohon Semar menerangkan kejadian kelahirannya. Semar menjawab bahwa dirinya terlahir sebelum pulau Jawa terbentuk. Semar ada sebelum masa Jawawut artinya lebih dahulu dirinya dari pada pulau Jawa. Dirinya lebih tua dari pulau Nusantara. Semar termasuk Jalma tan kena kinaya ngapa artinya tidak terpikirkan atau misterius.

Pada pengamatan lakon lahirnya Semar yang disajikan oleh Ki Purba Asmara pada bulan Maret 2009 di pendopo keraton Surakarta, Semar lahir dari hasil perkawinan dewa Sanghyang Tunggal Rekatawati. Kelahirannya berupa sebuah telur. Oleh Sanghyang Tunggal telur dihaturkan kepada orang tuanya ya-itu Sang Hyang Wenang. Di depan Sang-hyang Wenang telur dipuja oleh Sanghyang Tunggal sehingga pecah menjadi tiga yaitu kulit luar, putih telur, dan kuning telur.

Dari ketiga bagian tercipta tokoh yaitu Tejamantri/Antaga, Ismaya dan Manikmaya. Ketiga tokoh memperebutkan yang paling berkuasa di dunia ini. Sanghyang Wenang melemparkan sayembara kepada ketiga cucunya yaitu barang siapa yang dapat menelan dan dapat memuntahkan kembali gunung Maha-meru adalah yang berwenang memerintah Triloka. Triloka meliputi jagar arcapada atau jagat manusia, mayapada atau jagat jin dan kahyangan.

Tejamantri adalah berasal dari kulit luar telur mencoba pertama kali untuk menelan gunung Mahameru. Baru sampai pada mulut, Antaga merasa tidak mampu sehingga mulut robek dan menganga. Pada giliran yang kedua, Ismaya dapat menelan gunung Mahameru sampai ke mulutnya namun tidak dapat menge-luarkan kembali, sehingga tubuhnya membesar seperti gunung. Ahirnya Manikmaya dapat menelan gunung Mahameru dan dapat mengeluarkan dari tubuhnya sehingga bentuknya wayang lurus dari bagian atas kepala sampai bawah telapak kaki.

Manikmaya yang berhak menguasai triloka yaitu arcapada, mayapada, dan kahyangan. Menurut Ki Suratna dalang Kartasura Semar terjadi dari kulit telur pada bagian putihnya adalah simbol dari kulit dunia. Semar menjadi tokoh yang jika terjadi ketidakharmonisan dunia dapat melakukan pelurusan untuk menjaga harmoni dunia, bahkan dunia seisinya dapat ditelannya (Wawancara 21 April 2009).

Tokoh wayang Semar mengandung unsur mistis yaitu jiwanya berasal dari dewa Ismaya yang diturunkan ke dunia untuk mendukung para ksatria sedang jasadnya meminjam dari seorang abdi dari wirata yaitu Badranaya.

Munculnya tokoh Semar bersama-sama dengan cikal bakal kelahiran keluarga Wirata yaitu pada tokoh Manumayasa. Dalam lakon perkawinan Semar, Semar Badranaya pada suatu ketika dikejar-kejar oleh dua ekor macan putih, oleh karena ketakutannya kemudian meminta bantuan pertapa sakti yaitu Manumayasa. Kedua macan putih dipanah sehingga berubah ujud menjadi dua bidadari yaitu Kaniraras dan Kanastri atau Kanestren. Dewi Kanestren kemudian diperisteri Semar sedang Kaniraras diperisteri Manumayasa. Sejak saat itu Semar Badranaya menjadi punakawanan keluarga Manumayasa beserta seluruh keturunannya (1999: 1171).

Wondo Wayang Semar

Dalam satu kotak wayang biasanya tersedia dua sampai tiga tokoh wayang Semar. Tokoh wayang yang kedua atau yang ketiga biasanya untuk menjaga jika wayang rusak atau untuk pemilihan lakon kembar atau rangkap seperti misalnya Semar Kembar tiga, Semar kuning. Tokoh wayang Semar dibuat rangkap adakalanya sedikit berbeda, sehingga menimbulkan kesan karakter berbeda. Untuk memberi nama Semar yang berbeda sering disebut wondo wayang Semar.

Dalam pewayangan, tokoh wayang Semar memiliki banyak wondo wayang. Beberapa wondo yang sudah ditemukan diantaranya adalah Semar wondo Ginuk, Dumuk, Brebes dan Miling untuk wayang gaya Surakarta (Ens Wayang Jilid III 1999: 1176). Disamping keempat wondo itu, Semar juga memiliki wondo dukun untuk wayang gaya Yogyakarta. Wondo wayang Miling dan Brebes untuk adegan biasa atau pada saat jejer, wondo dukun untuk wejangan dan dumuk untuk kegunaan Semar waktu berperang melawan musuhnya. Keterangan ciri-ciri ujud wondo tergantung para seniman dalang yang memahaminya, sedang terbentuknya wondo wayang kemungkinan pada saat mbedah wayang atau meterani yaitu ingin membuat wayang Semar yang baru dengan cara ngeblat dengan menggaris/mempola pada bentuk luar wayang lama, kemungkinan sedikit bergeser, sehingga dapat terjadi dan menyebabkan kesan penanggap juga berbeda-beda.

Peran Semar dalam Gara-gara

Gara-gara dapat berarti keributan, kegemparan, kehebohan (Poerwadar-minta, 1968: 289). Gara-gara dalam pertunjukan wayang merupakan pertanda peralihan situasi, biasanya dilakukan pada patet sembilan. Dalam pertunjukan wayang semalam suntuk yang memakan durasi waktu sekitar tujuh jam, yang biasanya dimulai pada jam 21:00WIB dan berakhir jam 04:00 WIB, gara-gara terjadi sekitar pertengahan lakon yaitu sekitar pukul 01.00 dini hari atau tiga jam setelah mulai pertunjukan dan tiga jam menjelang akhir pertunjukan. Jika dalam pertunjukan semalam dikelompokkan menjadi tiga patet yaitu patet Nem, patet Sembilan, dan patet Manyura, maka gara-gara terjadi pada saat akhir patet Sembilan. Gara-gara menandakan akan terjadi perubahan menuju inti lakon. Pada awal pertunjukkan berupa pendahuluan, kemudian pada patet Sembilan inti dan patet Manyura terjadi penutup lakon. Jika dapat dianalogkan dengan perkembangan hidup manusia, maka hidup manusia kodratnya terjadi dari kelahiran, dewasa, kemudian mati. Gara-gara terjadi pada siklus kehidupan yaitu saat menginjak usia dewasa. Dalam kehidupan sering disebut ritus peralihan hidup pada saat terjadi demikian maka rawan gangguan sehingga diperlukan pengarahan yang tepat.

Gara-gara dalam pertunjukan wayang didahului dengan pertanda khusus yaitu kayon ditancapkan ditengah-tengah gedebog pisang sebagai lemahan kemudian dalang melakukan pocapan gara-gara. Begitu pocapan selesai, kayon diambil dimainkan secara terbalik dan ditancap dibagian samping dengan terbalik yaitu sisi merah pada bagian yang berhadapan dengan dalang. Gending iringan biasanya lebih dinamis dan dalam pertunjukan wayang muncul beberapa tokoh panakawan seperti Gareng, Petruk dan bagong. Ketiga tokoh itu biasanya melakukan pengenalan diri dengan penonton, alam-alaman, saring pendapat disertai dengan kritik social (Anom Sukatno 1996: 24-31). Pada saat itu terjadi dialog antara wayang dengan tokoh wayang dan wayang dengan masyarakat penonton. Terjadilah komunikasi dan interaksi seni antara dalang dengan penonton. Biasanya isi dialog tentang pembangunan, kritik sosial, dan dendang lagu-lagu favorit.

Gara-gara berhenti dengan munculnya tokoh Semar. Dalam kutipan Sri Mulyono (1982:89-91):

Dalam pewayangan, kalau Semar muncul, boleh dikatakan bahwa munculnya selalu pada tengah malam. Kyai lurah Semar sebenarnya Dewa yang menjelma menjadi manusia, Semar adalah Hyang Ismaya, juga Hyang Asmarasanta, dewa berujud manusia, di dunia ini merupakan pamong keturunan Brahma dan Wisnu. Semar kelihatannya jelek tanpa rupa tapi sebenarnya melebihi para dewa. Semar memang pamong, melindungi dunia alam semesta dengan isinya, melindungi para ksatrian penegak kebenaran, keadilan dan kejujuran dan penuh pengorbanan.

Dengan hadirnya Semar maka gara-gara berhenti dan lakon kembali berjalan harmonis dan kemenangan selalu dipihak yang benar, yang adil dan yang disertai dengan pengorbanan. Dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta, Semar sebagai pengabdi kepada para ksatria Amarta.

Semar sebagai Pemegang Peran dalam Lakon Wayang

Hampir semua lakon yang dipergelarkan dalam pertunjukan wayang kulit purwa Jawa pasti ada adegan gara-gara. Pada lakon yang mengambil serial perang besar Baratayuda, adegan gara-gara biasanya lebih singkat dan tidak terjadi dialog humor yang berhubungan dengan penonton. Hal itu, berbeda dengan lakon biasanya. Pada pertunjukan yang biasa, gara-gara sekarang telah mengalami perkembangan pesat yaitu diselingi dialog segar dengan penonton, menghadirkan pelawak, pilihan lagu-lagu.

Gara-gara, adakalanya menyita waktu lebih dari satu jam guna memuaskan penonton. Pada lakon yang melibatkan tokoh pemegang peran terpenting Semar, adegan gara-gara tetap dipentaskan. Beberapa lakon yang melibatkan tokoh Semar diantaranya adalah Kilat Buana, Tali Rasa Rasa Tali dan Tali buana, Gatutkaca Sungging, Semar Gugat, Semar, Minta bagus, Bathara Wisnu Krama, Semar tambak, Manumayasa Rabi, Pandu lahir, Pandu karma, Mintorogo, Semar Kuning/Badranaya, Semar mbangun Klampis Ireng, Semar mbangun Khayangan, Semar mbarang jantur. Disamping lakon yang sudah disebutkan masih banyak lakon lain yang melibatkan tokoh Semar sebagai pemegang peran akan tetapi biasanya cenderung humoris dan relative kurang popular.

Dari beberapa lakon yang sering dipertunjukan kepada masyarakat tentang peran karakter Semar dapat dikelompokkan pada:

(1) Semar lebih berkuasa dari pada para dewa termasuk Manikmaya atau Guru Dewa, yang dalam pewayangan sering disebut dengan sebutan Bathara Guru, biasanya Semar marah karena kurang bijaksana atau berbuat kekeliruan;

(2) Semar pergi meninggalkan Karang Kedempel sebagai tempat tinggalnya oleh karena para ksatria sudah banyak meningalkan keutamaan sehingga diperlukan pengarahan/pelurusan jalannya lakon agar tujuan yang baik tercapai dan

(3) Semar sebagai abdi/pamong kehadiran tokoh penting yang akan menjadi pemimpin.

Sebagian ringkasan lakon adalah sebagai berikut.

Lakon Kilat Bhuana

Dalam pertunjukan wayang kulit purwa dengan lakon ini, Bethara Guru (Guru Dewa) menjadi pendeta di Astina bernama Kilat Bhuana. Guru Dewa bermaksud mengurungkan perang Bharatayuda. Kilat Bhuana datang ke Astina menemui Duryudana dan mengundang keluarga pandawa. Kilat Bhuana menerangkan bahwa perang diantara dua bersaudara adalah kurang terpuji, keduanya harus rukun. Untuk maksud perdamaian Kilat Bhuana membutuhkan sesaji/tumbal orang Boga sampir. Tokoh Boga sampir tidak lain adalah Semar. Arjuna mendapat tugas untuk membunuh Semar. Tokoh Semar mengetahui maksud jelek Guru Dewa sehingga marah dan merubah bentuknya menjadi ksatria bagus bernama Cahya Bhuana penjelmaan Ismaya. Kehendak untuk membunuh Semar tidak terlaksana dan kilat Buana badar ujudnya menjadi Guru Dewa dapat dikalahkan oleh Semar yang bergelar Cahya Bhuana.

Lakon Gatotkaca Sungging

Dalam lakon Gatotkaca Sungging, Betara Guru marah kepada Gatutkaca oleh karena membangun Pringgodani mirip Khayangan. Untuk melampiaskan kemarahannya, Guru Dewa merubah ujud menjadi pendeta raksasa dengan nama Begawan Nilayaksa. Guru Dewa akan membunuh Gathutkaca yang sedang melakukan latihan perang di Mandala Yudha. Gatutkaca adalah tokoh yang sakti dikawatirkan tidak ada senjata yang ampuh untuk membunuhnya. Guru Dewa juga akan membunuh Semar oleh karena mendukung Gatutkaca.

Dalam peperangan hampir semua tokoh pandawa tidak ada yang memenangkannya. Keadaan menjadi tegang, untung kresna memahami kejadiannya, untuk itu kemudian memerintahkan Semar untuk maju perang. Semar marah besar karena Guru Dewa dalam perang Baratayuda menginginkan pihak kurawa berperang melawan Semar yang mendapatkan kemenangan. Nilayaksa yang ingin membantu Kurawa berperang melawan Semar, akhirnya terbuka kedoknya menjadi Guru Dewa karena dikalahkan oleh Semar Badranaya.

Lakon Tali Rasa-rasa dan Tali Buana

Pada lakon ini, Guru Dewa dan Narada turun kebumi menjadi tokoh Rasa Tali dan Tali Rasa, dua ksatria bagus seperti tokoh Samba. Kedua tokoh itu kemudian pergi ke Astina menggoda Lesmanawati. Kurawa kemudian marah terhadap kedua tokoh itu, akan tetapi mereka tidak mampu mengusirnya. Sangkuni kemudian mempunyai ide untuk melaporkan kepada Pandawa dengan tipu muslihat bahwa Arjuna berada di Astina dan selingkuh dengan Lesmanawati. Arjuna mendengar laporan Sangkuni tampak tenang saja oleh karena itu hanyalah ulah Sangkuni. Semar mencoba menyadarkan keutamaan ksatria kepada Arjuna, justru Semar diusir Arjuna bersama Gareng dan Petruk.

Pada suatu gua, Gareng dan Petruk menemukan busana Guru Dewa dan Narada. Gareng dan Petruk kemudian berubah ujud untuk kamuflase menjadi dewa. Semar sadar, oleh karena menemukan busana dua dewa, kemudian merubah rupa menjadi kesatria bagus bernama Tali Buana. Tali Buana kemudian bertapa ngrame, menolong bagi yang membutuhkannya. Oleh karena Arjuna merasa bersalah dan tidak dapat mengusir Rasa Tali dan Tali Rasa, dapat dikalahkan badar ujud aslinya yaitu Guru Dewa dan Narada sedang Tali Buana badar menjadi Semar. Setelah Guru Dewa merasa bersalah kemudian minta maaf kepada Semar, keduanya disuruh kembali ke Kahyangan. Terkejut Guru Dewa oleh karena di kahyangan sudah ada Guru Dewa palsu dan Narada palsu. Dengan pertolongan Semar kedua dewa palsu dapat dikalahkan badar menjadi Gareng dan Petruk.

Lakon Makuta Rama

Dalam lakon ini Betara Guru ingin membunuh Arjuna, Betara Guru berusaha menghalang-halangi Arjuna menerima wahyu Makuta Rama dari Begawan Kesawasidi. Maksud tidak baik dari Betara Guru ini kemudian diketahui oleh Semar sehingga Betara Guru di hajarnya sampai kalah.

Semar Minta Bagus

Dalam kisah ini dikisahkan bahwa Semar telah meninggalkan negeri Amarta, karena merasakan sakit hati diremehkan dan dihina oleh Arjuna. Arjuna berani meludahi kunjungnya. Arjuna tidak sadar bahwa kejadian itu membuat sakit hati Semar.

Betapa tersinggung perasaannya, Semar sebagai orang tua yang telah mengasuh Arjuna sejak kecil dan membimbingnya menjadi satria yang tak ada bandingnya, kini diperlakukan sebagai budak yang tak ada harganya. Semar segera mengadu kepada Begawan Abiyasa di Saptaraga. Begawan Abiyasa ikut sedih hatinya, mencoba memintakan maaf atas kesalahan Arjuna. Semar yang masih merasa terhina ingin membalas dan membuktikan bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang melebihi para ksatria. Abiyasa sangat khawatir akan kepergian Semar dari Negeri Amarta, karena tanpa bimbingan Semar negeri Amarta akan rusak. Usaha Abiyasa untuk mencegah kepergian Semar tidak berhasil.

Semar yang diliputi kemarahan segera pergi ke Kahyangan mengadukan nasib yang dialaminya di bumi. Semar menuntut agar Guru Dewa mengembalikan wujud dirinya yang gagah perkasa seperti dahulu kala. Guru dan para guru lainnya tak ada yang mampu menyadarkan hati Semar, karena berdasarkan kodrat hal itu tidak mungkin dilaksanakan. Oleh karena itu dengan sangat terpaksa kehendak Semar diturutinya tetapi hanya untuk sementara saja.

Semar kemudian berubah menjadi seorang ksatria bagus, tampan dengan sebutan Bambang Dewa Lelana, sedang anaknya Bagong menjadi Bambang Lengkara. Bambang Dewa Lelana dan Bambang Lengkara segera kembali ke bumi kemudian menaklukkan Prabu Setyawijaya dan menjadi raja di negeri Pudak Setegel, memerintahkan prabu Setyawijaya dan maha patihnya Dasapada untuk mencuri Serat Jimat Kalimasada.

Dengan kesaktiannya, patih Dasapada dapat berubah menjadi Sri Kresna dan berhasil mencuri Jimat Kalimasada. Tetapi akhirnya tipu muslihat itu dapat diketahui oleh Sri Kresna asli yang datang tak lama kemudian. Dengan dihantar oleh Sri Kresna, para Pandawa pergi ke negeri Pudak Setegel menghadap Bambang Dewa Lelana yang tak lain adalah Semar sendiri untuk meminta Jimat Kalimasada kembali.

Bambang Dewa Lelana yang telah berubah menjadi Semar kembali dengan senang hati menyerahkan Jimat Kalimasada kepada para Pandawa. Pandawa sadar bahwa tanpa perlindungan Semar keadaan Amarta akan menjadi rusak.

Semar Papa

Dalam lakon Semar Papa, Abimanyu diperintahkan oleh Abiyasa palsu untuk membunuh Semar, agar negeri Amarta terhindar dari bencana dan mala petaka. Ketika para pandawa mendengar perintah Abiyasa, mereka menjadi bingung dan sedih. Oleh karenanya tak ada pilihan lain kecuali melaksanakannya. Untuk itu diperintahkannya kepada Angkawijaya agar melaksanakannya.

Angkawijaya sedih membunuh pamongnya sendiri. Semar seorang dewa yang menyamar, Semar adalah Sang Hyang Ismaya, maka Semar sudah tak samara dan ragu lagi segala apa yang dihadapinya. Dengan tersenyum sejuk Semar memerintahkan Angkawijaya agar membunuh dengan jalan membakarnya.

Bersamaan dengan pembakaran Semar, Pandawa mendapat berita bahwa candi Sapta Arga telah rusak dan dikuasai oleh para raksasa dari negeri Setragandamayit. Para Pandawa segera pergi ke Saptaarga untuk menyelamatkannya. Semua ksatria pandawa gagal bertindak. Bima yang terkenal gagah perkasa ternyata kalah berperang melawan cantrik penjelmaan raksasa Siluman Kala Jaramea dan Jurumea. Bima harus jatuh bangun dan terlempar jatuh ke dalam rawa-rawa yang berlumpur dan hampir tenggelam seluruh badannya. Dalam keadaan Bima mengerang, kesaktian Semar menolong Bima dari cengkeraman maut. Pada saat itu pula para Pandawa datang dari Saptaarga dan bertemu dengan Semar yang berhasil menolong Bima. Mereka sangat gembira, karena ternyata Semar masih hidup. Semar bersama semua ksatria pandawa pergi ke Saptaarga untuk membebaskan dari kekuasaan raksasa Siluman.

Dengan bantuan Semar para Siluman dapat dikalahkan. Abiyasa palsu dapat dikalahkan oleh Semar badar menjadi Durga. Begawan palsu berubah ujud aslinya yaitu menjadi Durga. Dalam serial ceritera lakon ini, mengingatkan kepada para ksatria untuk tetap waspada dan hati-hati. Semar sebagai abdi pamong mengandung hikmah kebijaksanaan yang harus ditaati oleh ksatria.

Lakon Semar Menggugat

Di negeri Astina terjadi kekisruhan oleh karena dihuni oleh dua penguasa yang serakah yaitu Resi Wisuna dan Dewa Wisuna. Semar meninggalkan Karang Kedempel sehingga menyebabkan para ksatria Pandawa hatinya cemas. Semar pergi ke kahyangan menggugat, menghadap Sanghyang Wenang, menanyakan siapa yang berani merusak Astina. Sahyang Wenang memberi tahu bahwa yang dapat mententeramkan Astina adalah Semar. Jika masih berujud Semar maka akan banyak hambatan, maka Semar harus berubah ujud menjadi pendeta yang bernama Begawan Mayaretna. Mayaretna harus tapa ngrame yaitu membantu pada para ksatria yang memerlukan bantuan.

Di tengah perjalanan, Mayaretna bertemu dengan Abimanyu, Gareng, Petruk dan Kresna. Kresna meminta bantuan Mayaretna agar dapat membantu para Pandawa yang sedang mengalami bencana. Para Pandawa sebelum diwejang dibawa ketengah hutan di suruh mandi terlebih dahulu dengan darahnya sendiri. Baru setelah selesai mandi, Resi Wisuna akan menusukkan senjata Trisura. Sebelum terlaksana menusukkan Trisura, Semar datang kemudian menantang Resi Wisuna dan Dewa Wisuna. Resi Wisuna badar menjadi Guru Dewa sedang Dewa Wisuna badar menjadi Jaramaya. Guru marah besar terhadap Mayaretna. Guru Dewa menghantamkan Trisura kepada Mayaretna sehingga badar menjadi Semar. Peperangan antara Semar dan Guru Dewa dipisah oleh Sanghyang Wenang. Guru Dewa diminta memohon maaf pada Semar. Dalam lakon ini, Semar menggugat oleh karena Guru Dewa yang seharusnya menjadi panutan justru melakukan perbuatan yang melanggar aturan.

Lakon Semar Mbarang Jantur

Semar mbarang jantur merupakan lakon Semar sebagai pengamen. Dalam lakon Semar menjadi pengamen, Dewi Irawati putri Prabu Salya dari negeri Mandakara telah hilang diculik Kartapiyoga raja dari negeri Tirtakandasan.

Arjuna yang masih muda bersama Punakawan, Semar, Gareng, dan Petruk ingin menolong mencari Irawati, tetapi bukan untuk mengikuti sayembara yang diadakan oleh Prabu Salya. Arjuna melihat kecantikan Banowati, hatinya bergetar sehingga dalam perjalanan mencari Dewi Irawati tergoda. Gejala percintaan Arjuna dengan Banowati diketahui oleh Surtikanti adik Banowati. Arjuna disumpah Surtikanti bahwa akan mengalami penderitaan akibat kelakuannya. Arjuna kemudian merasa lapar dan haus tidak tertahankan.

Suatu ketika Arjuna terjatuh pingsan di tengah hutan dan ternyata termakan sumpah Surtikanti. Untuk mengatasi rasa lapar Arjuna memerintahkan Semar, Gareng, dan Petruk untuk mbarang jantur/bermain sulap pada suatu daerah yaitu desa Widarakandang. Di Widarakandang dihuni oleh seseorang pendeta muda yang bernama Wasi Jaladara yang ditemani oleh adik perempuannya bernama Bratawijaya.

Untuk bermain sulap, Semar, Petruk, dan Gareng minta syarat-syaratnya yaitu berupa nasi tumpeng dan jajan pasar. Setelah tersedia persyaratannya, Semar, Gareng, dan Petruk mempertunjukan keahliannya. Setelah pertunjukan selesai, Semar akan kembali sambil membawa berkat sebagai upah, berbagai nasi tumpeng dan jajan pasar ditumbuk menjadi satu dengan alasan agar mudah dibawa. Berkat kemudian diberikan kepada Arjuna. Oleh karena rasa laparnya, Arjuna segera membuka bungkusan berkat. Arjuna marah mengamuk ke Widarakandang, tetapi ketika berhadapan dengan Wasi Jaladara, Arjuna tak dapat berbuat banyak. Setelah saling tegur sapa, ternyata mereka masih bersaudara. Semua kejadian itu dikarenakan perbuatan Semar.

Dalam lakon ini, Semar kemudian memberi penjelasan, pertama atas kesalahan perbuatannya, kedua agar Arjuna yang mengemban tugas mencari Irawati tidak boleh makan di sembarang tempat. Ketiga, Banowati bukan jodohnya. Arjuna kemudian meminta pertolongan kepada Wasi Jaladara untuk mencari Dewi Irawati yang dicuri pencuri. Dengan kesaktiannya Wasi Jaladara dapat menangkap pencuri yang kembali untuk melakukan aksinya keduakalinya. Jaladara dapat membunuh Kartapiyaga. Semar dalam lakon ini, berperan untuk mengingatkan para ksatria agar teduh menjalankan tugas serta tidak tergoda rayuan bujuk manis dari penggoda perempuan.

Lakon Semar Kuning

Dalam lakon Semar kuning, Semar bertapa pada suatu bukit Tidar yang mengeluarkan cahaya kuning. Awal mula ceritanya demikian. Semar merasa sakit hatinya oleh karena melihat keadaan para ksatria dan para dewa telah berbuat menyimpang dari paugeraning keutamaan. Semar merasa sakit hati oleh karena Abimanyu menghina dengan berani memegang kuncungnya. Subadra pergi bertapa di Gunung Ardi Arjuna dengan sebutan Arjuna Jalur bersama dengan Gareng, Petruk, dan Bagong. Tak lama kemudian datanglah Kresna dengan Gatutkaca yang meminta tolong untuk mengusir Guntur Wasesa, Guntur dahana, dan Guntur maruta yang menguasai Astina.

Kehadiran mereka di Astina oleh karena didukung oleh raja besar aji Gineng dan Patih Kendhitmimang dari kerajaan Ujung tiris. Semua prajurit Astina kalah dan tunduk. Dalam peperangan ini, ternyata Arjuna Jalur kalah dan badar Subadra. Kresna kemudian bingung dan akhirnya pergi ke gunung Tidar meminta bantuan kepada Semar kuning. Semar tidak langsung ke Astina akan tetapi pergi ke Negara Ujung Tiris yang dikuasai oleh Ajigineng dan Tejalaku badar Naradha. Semar Kuning kemudian pergi ke Astina mengusir Guntur Wasesa, Guntur Dahana dan Guntur Maruta. Semua tokoh terbongkar kedoknya sebagai kamuflase dari dewa. Guntur Wasesa badar menjadi Endra, Guntur Dahana menjadi Brama dan Guntur Maruta menjadi Bayu sedang Guntur Ketuk menjadi Sambu. Semar Kuning akhirnya berubah ujud menjadi Semar. Semar menjadi pengayom dunia untuk menghindarkan kerusakan.

SIMPULAN

Semar dalam pertunjukan wayang kulit purwa gaya Surakarta versi lakon Mahabarata mempunyai makna yang penting. Semar berperan sebagai abdi/pamomong para ksatria yang akan menumbuhkan biji keutamaan yang menjaga keharmonisan, keselarasan, dan keseimbangan perjalanan hubungan antara manusia, alam semesta para dewa. Semar dalam kebiasaan biasa dapat berlaku tokoh yang kemunculannya disertai oleh peristiwa gara-gara yaitu keadaan yang serba kacau dan bingung serta keadaan alam yang terguncang oleh karena ulah sebagian tokoh dunia yang ingin merusak suasana alam.

Dengan kehadiran Semar, lakon kembali normal dan menuju akhir yang baik. Dalam pewayangan, jika tokoh Semar menjadi pemegang peran karakter, maka Semar memiliki peran utama, tanpa Semar keadaan menjadi tidak tenteram dan menjadi malapetaka. Semar serba misterius, tidak pernah memiliki kepentingan pribadi. Semar sebagai ksatria yang setia keutamaan, kebahagiaan, kejujuran dan penuh pengorbanan. Jika Semar marah, maka kekuasaannya melebihi semua tokoh termasuk Guru Dewa kalah dengan Semar. Kemarahan Semar dengan tujuan agar peristiwa dunia menjadi normal kembali. Tokoh Semar hidup sepanjang masa dalam lakon sehingga merupakan tokoh yang banyak berpengaruh pada penonton.

DAFTAR PUSTAKA

Bastomi, Sueaji. 1995. Gemar Wayang. Semarang: Dahara Prize.

Branen, Julia. 2002. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: PustakaPelajar.

Budi Prasetya, Hanggar. 2005. Konsep Badar dalam lakon Carangan Pewayangan Tradisi Yogyakarta dalam Harmonia Jurnal Penge-tahuan dan Pemikiran Seni. Semarang: UNNES.

Kodiron, 1967. Serat Pakem Pedalangan. Solo: Pelajar.

Padmosoekotjo. 1986. Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Surabaya: BP Balai Pustaka.

Masinambow, E.K.M dan Rahayu S. Hidayat. 2001. Semiotik Mengkaji Tanda dalam Artifak. Jakarta: Balai Pustaka.

Mulyono, Sri. 1982. Apa dan Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung.
1979. Simbiolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.

Santosa. 2004. Mencermati Seni Per-tunjukan II Perspektif Pariwisata, Lingkungan dan kajian Seni Pertunjukkan. Surakarta: The Ford Foundation dan Program Pasca Sarjana STSI.http://wayangprabu.com/2010/05/11/s-e-m-a-r-2/

pranowobudi

Jumlah posting : 4
Join date : 04.04.11

Kembali Ke Atas Go down

Semar, tokoh kreasi budayawan lokal Empty Punokawan dan syiar Islam

Post  pranowobudi Mon Apr 04, 2011 3:54 pm

Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.

Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.

Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si “Bayangan Semar” ini karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.

Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh panakawan juga berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati diri.

Karakter Panakawan (selain para tokoh lainnya) dari jalur acuan Walisongo sebenarnya muncul berdasarkan penuturan Puntadewa/Dharmakusuma (satu-satunya dari Pandawa yang kemudian memeluk Islam) dan Semar / Ismaya kepada Sunan Kalijaga dalam komunikasi ghaib (yang tidak terbatasi ruang dan waktu) sesama aulia. Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para panakawan yang dinyatakan sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah dari bangsa Jin.

Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun menggambarkan atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa’arinal bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk menghindarinya.

pranowobudi

Jumlah posting : 4
Join date : 04.04.11

Kembali Ke Atas Go down

Semar, tokoh kreasi budayawan lokal Empty Re: Semar, tokoh kreasi budayawan lokal

Post  joko Mon Apr 04, 2011 8:33 pm

Selamat malam,

Matur nuwun, kangmas Prabu.
Pertama-tama, perkenankan saya mengucapkan terima kasih atas jerih payah kangmas Prabu dalam mempersiapkan dan menerbitkan forum ini.

Dalam kesempatan pertama ini, saya ingin mengutarakan pendapat saya, setelah membaca uraian tentang punakawan dalam wayang Jawa.

Menurut pendapat saya, nama-nama Semar Gareng Petruk yang berasal dari bahasa Arab itu, hanya lah salah satu versi saja dari kisah-kisah tentang asal usul wayang ini.

Versi lain menyebutkan asal-usul Semar dari nama Ismaya, yang merupakan saudara Manik Maya.
Nama Ismaya dan Manik Maya ini juga mengandung makna, yang bisa kita telusuri.

Tentang mana versi yang benar, wallahu alam.

Nyatanya, di Arab sana belum pernah terdengar (setidaknya oleh saya), bahwa ada kisah yang serupa atau mirip dengan cerita wayang di Jawa.

Nusantara ini, menurut pendapat saya, mempunyai budaya yang jauh lebih maju daripada budaya Arab Saudi.
Pada abad 6, sebelum kelahiran Nabi Muhammad, waktu Semenanjung Arabia masih dalam jaman "jahiliyah", di Jawa sudah ada wayang.

Sekian dulu urun rembug dari saya.

Mudah-mudahan perbedaan pendapat bukan hal yang tabu dalam forum ini.

Salam,
Joko R

joko

Jumlah posting : 1
Join date : 04.04.11

Kembali Ke Atas Go down

Semar, tokoh kreasi budayawan lokal Empty Re: Semar, tokoh kreasi budayawan lokal

Post  Sponsored content


Sponsored content


Kembali Ke Atas Go down

Kembali Ke Atas


 
Permissions in this forum:
Anda tidak dapat menjawab topik